19 Oktober 2009

Pengaturan Jarak Tanam Ubikayu dan Kacang Tanah untuk Meningkatkan Indeks Pertanaman di Lahan Kering Masam


Pengaturan Jarak Tanam Ubikayu dan Kacang Tanah untuk Meningkatkan Indeks Pertanaman di Lahan Kering

Kebutuhan kacang tanah dari tahun ke tahun meningkat sekitar 4,4%, sedangkan produksi kacang tanah hanya meningkat sebesar 2,5%. Peningkatkan produksi kacang tanah dapat dilakukan dengan meningkatan luas lahan maupun meningkatkan produksi. Luas tanam kacang tanah sejak tahun 1969 hingga tahun 2004 terus bertambah, dari sekitar 200.000 ha menjadi sekitar 837.000 ha, atau meningkat lebih dari 200%. Dari luas tanam tersebut, sekitar 60% kacang tanah ditanam di lahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa lahan kering memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap produksi kacang tanah di tingkat nasional.

Luas lahan kering di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, mencapai 51.162 ha atau 92% dari total lahan pertanian di kabupaten tersebut. Tetapi, luas pertanaman kacang tanah hanya sekitar 3.326 ha dengan produktivitas 1,15 t/ha. Dengan demikian pengembangan kacang tanah di Banjarnegara dapat diarahkan ke lahan kering.

Pertumbuhan tanaman di lahan kering sangat dipengaruhi oleh keadaan curah hujan. Untuk menghindari resiko kegagalan panen, pemilihan waktu tanam dan varietas harus tepat. Apabila waktu tanam pada suatu lokasi pengembangan telah diketahui, maka langkah selanjutya adalah menyusun pola tanam. Dalam penyusunan pola tanam, selain aspek biofisik, pola tanam yang telah berkembang pada masyarakat setempat juga harus diperhatikan, sehingga pola tanam yang dikembangkan bukan merupakan sesuatu yang baru sama sekali tetapi merupakan pengembangan dari pola tanam yang telah ada.

Pola tanam di lahan tegal di wilayah Banjarnegara pada MH I adalah ubi kayu monokultur, tumpangsari antara ubikayu-jagung atau ubikayu-padi gogo atau ubikayu-kacang tanah dengan populasi masing-masing 100%. Dengan mengubah tata letak tanaman ubikayu menjadi baris ganda, maka memungkinkan kacang tanah ditanam kembali pada MH II di antara tanaman ubikayu baik setelah jagung, padi gogo atau kacang tanah pertama. Hal ini berarti akan terjadi penambahan luas pertanaman kacang tanah. Dengan menambah intensitas tanam berarti akan meningkatkan produksi dan sekaligus menambah pendapatan petani.

Penelitian di Banjarnegara dilakukan dengan menanam ubikayu dengan jarak tanam baris ganda (60 cm x 70 cm) x 2 m dan (60 cm x 70 cm) x 2,6 m. Kacang tanah ditanam diantara baris ganda ubikayu. Pada saat tanam kacang tanah MH II, ubikayu sudah berumur tiga bulan. Pada sistem tanam baris ganda (60 cm x 70 cm) x 2 m dan (60 cm x 70 cm) x 2,6 m populasi ubikayu masing-masing sekitar 105% dan 86% dibandingkan cara petani (monokultur) dengan jarak tanam 120 cm x 80 cm. Populasi kacang tanah pada kedua pola tersebut sekitar 70% dari populasi monokultur.

Dengan pola tanam seperti di atas maka indeks pertanaman yang semula hanya 200 berubah menjadi 256. Hal ini terjadi karena pada MT I, kacang tanah ditanam dengan populasi 100% dan ubikayu 86%, sedangkan pada MT II, kacang tanah ditanam dengan populasi 70%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan hasil kacang tanah yang ditanam di antara baris ganda ubikayu 2 m lebih jelek dibandingkan pada jarak 2,6 m, terutama disebabkan oleh tingkat naungan yang lebih tinggi. Hasil kacang tanah MH II pada sistem tanam ubikayu (60 cm x 70 cm) x 2 m berkisar antara 98 kg – 114 kg/ha polong kering, sedangkan pada sistem tanam ubikayu (60 cm x 70 cm) x 2,6 m berkisar antara 676 kg – 924 kg/ha polong kering (populasi kacang tanah 70%).

Hasil ubikayu pada sistem baris ganda (60 cm x 70 cm) x 2 m (populasi ubikayu 105%) maupun (60 cm x 70 cm) x 2,6 m (populasi ubikayu 86%) lebih tinggi dibandingkan cara petani. Berat umbi pada sistem baris ganda (60 cm x 70 cm) x 2 m adalah 3,74 kg/pohon atau 25,08% lebih tinggi dibandingkan cara petani (Gambar 3). Sedangkan hasil umbi dengan sistem baris ganda (60 cm x 70 cm) x 2,6 m adalah 56,86% lebih tinggi dibandingkan cara tanam petani (Gambar 4). Pada sistem baris ganda (60 cm x 70 cm) x 2,6 m meskipun populasi ubikayu hanya 86% dari cara petani akan tetapi umbi yang diperoleh 56,86% lebih tinggi sehingga kekurangan populasi ubikayu tersebut masih dapat dikompensasi dengan kenaikan hasil. Selain itu, menurut petani dengan cara tanam tersebut memudahkan perawatan ubikayu.

Sistem tumpangsari ubikayu dengan kacang tanah mempunyai beberapa keuntungan, yaitu: (1) Meningkatkan C-organik tanah, juga dapat memperbaiki sifat kimia tanah lainnya, (2) Tanaman kacang-kacangan dapat menyumbangkan sekitar 30 % N hasil dari proses fiksasi N kepada tanaman lainnya dalam sistem tumpangsari maupun rotasi. Tambahan dari residu akar tanaman legume sekitar 5-15 kg N/ha, (3) Menurunkan erosi sekitar 48% dan hasil umbi 20% lebih tinggi dibandingkan dengan hasil ubikayu monokultur, (4) Meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan pendapatan petani, (5) Menjamin ketersediaan pakan ternak dan (6) Menjamin kelestarian lahan dan stabilitas hasil.

Di samping mempunyai beberapa keuntungan, sistem tumpangsari juga mempunyai kelemahan diantaranya adalah terjadinya kompetisi cahaya dan hara antara tanaman utama dan tanaman sela. Adanya kompetisi tersebut dapat menurunkan produktivitas tanaman utama dan tanaman sela. Dampak negatif dari pengaruh kompetisi tersebut dapat dikurangi dengan cara: (1) menyediakan hara sesuai kebutuhan tanaman utama dan tanaman sela, (2) menanam varietas yang daya kompetisinya tinggi, (3) mengatur populasi tanaman agar optimal, dan (4) memperpendek periode kompetisi. Periode kompetisi dapat diperpendek dengan mengatur jadwal tanam antara tanaman utama dan tanaman sela, hasil ubikayu dan kacang-kacangan mencapai 85% dan 90% dibanding tanam monokultur jika ubikayu ditanam pada 1 hingga 2 minggu setelah tanam kacang-kacangan.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com